Bandung Mawardi

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mirip kolektor penghargaan, menerima penghargaan dari pelbagai institusi, dari hari ke hari. Penghargaan terakhir diberikan oleh Yayasan Batik Indonesia, 17 Juli 2013. SBY mendapat Penghargaan Kriya Pusaka, bukti pengakuan atas perhatian dan kontribusi dalam melestarikan dan mewartakan batik di Indonesia dan dunia.

Peran besar SBY adalah penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Penghargaan tertinggi ini tampak berkaitan dengan politik dan pamor penguasa. SBY dianggap sanggup memberi efek besar dalam propaganda batik berlatar politik-kultural, merujuk ke nalar birokrasi dan popularitas.

Penghargaan dari Yayasan Batik Indonesia juga pernah diberikan kepada Nelson Mandela, mantan penguasa di Afrika Selatan dan tokoh moncer di dunia. SBY dan Nelson Mandela memiliki perbedaan dalam pemaknaan batik, bergantung posisi politik dan ”selera” penampilan. SBY dalam acara publik kadang mengenakan batik, tak serajin mengenakan jas atau pakaian perlente.

Nelson Mandela justru rajin mengenakan batik di pelbagai acara. Penampilan Nelson Mandela sering membuat publik kagum, memberi penghormatan atas pemaknaan batik sebagai bahasa komunikasi dengan publik. Kontribusi ini belum tersaingi oleh SBY atau pejabat-pejabat di Indonesia.

Richard Stengel dalam buku Mandela’s Ways: Lima Belas Pelajaran Tentang Hidup, Cinta, dan Keberanian (2010) membeberkan pemaknaan pakaian, dari etika sampai politik-kultural. Pilihan mengenakan batik dipengaruhi oleh kesadaran berpakaian Mandela, dari masa bocah sampai menjadi penguasa. Mandela menjelaskan,”Jika kau ingin mendapatkan peran, kau harus mengenakan pakaian secara tepat.” Pakaian selalu memuat pengertian identitas, politik, adab.

Mandela mengenakan jas gelap konservatif saat menjabat sebagai presiden, pemenuhan kepatutan etika politik global. Pakaian perlente itu ditanggalkan saat melihat Afrika Selatan dalam kondisi tenang, harmonis, meski memiliki kerawanan perbedaan.

Mandela memilih mengenakan kemeja, berlanjut mengenakan batik. Pakaian itu simbol dan substansi. Mandela berhasil mengenalkan batik ke publik dunia, merangsang kebermaknaan batik dengan rujukan pluraliras kultural. SBY belum setara dengan peran Mandela untuk mengomunikasikan pelbagai pesan melalui pengenaan batik.

Penampilan berbatik pun jadi kekhasan Mandela, selama puluhan tahun. Penghargaan untuk Mandela pantas diberikan meski berkewarganegaraan Afrika Selatan. Perbandingan SBY dan Mandela diajukan untuk melihat pembiasaan para pejabat di Indonesia, rajin mengenakan jas ketimbang batik, berdalih formalitas dan keperlentean.

Pemaknaan batik memang jarang dilakukan oleh pejabat. Batik cuma jadi isu politik-kultural, diskursus ditumpangi pamrih-pamrih politik. Batik justru jadi selebrasi populis di publik, memiliki dan memaknai tanpa jargon-jargon politik. Kontribusi SBY digenapi oleh Ny Ani Yudhoyono dengan penerbitan buku Batikku: Pengabdian Cinta Tak Berkata (2010).

Buku mewah setebal 238 halaman ini memuat keterangan-keterangan singkat dan foto-foto batik. Nya Ani memberi pengakuan: Aku pernah menyatakan bahwa aku ingin melihat batik hidup seribu tahun lagi. Ketika aku menyatakannya, hatiku memandang kepada setiap insan kreatif yang sehari-hari menekuni kearifan itu…. Sungguh suatu tradisi yang membuat hati ini merendah. Bagaimana kalau mereka punah? Inilah keresahanku.

Pengungkapan dramatik ini mengesankan ada perhatian dan kepemilikan atas tradisi batik. Nya Ani pun berkeputusan terlibat, berikhtiar melestarikan batik beraltar politik, ekonomi, kultural. Pengakuan Ny Ani seturut dengan penjelasan SBY, 17 Juli 2013: Saya dan istri, jalan ke mana pun di Indonesia, dari satu kabupaten ke kabupaten lain, kota ke kota lain, di samping melihat pengrajin, kami juga membeli batik di mana pun, di seluruh Indonesia.

Perhatian

Kita mengerti perhatian berwujud kunjungan ke tempat-tempat kerajinan batik, membeli, mengoleksi batik. Ikhtiar ini dikabarkan ke publik, disampaikan untuk diteladani. Perhatian ini masih ada di pengertian parsial, belum mengarah ke urusan adab atau pendasaran filosofis. Batik belum menjadi referensi historis, identitas kultural, rangsangan nasionalisme.

Kita justru mengingat peran Soekarno saat memimpikan batik Indonesia, batik dengan ciri keindonesia: representasi puncak dari keberadaan batik Solo, Jogja, Lasem, Pekalongan, Cirebon, dan batik-batik di segala penjuru Nusantara. Soekarno memang tidak menjadi penguasa dengan kebijakan penetapan Hari Batik Nasional tapi memiliki peran signifikan ketimbang SBY.

Rustopo dalam Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (2008) membeberkan kisah Soekarno dan batik melalui pengakuan Go Tik Swan. Soekarno memberi titah: … kamu dari keluarga pengusaha batik. Mbok, coba kamu buat untuk bangsa ini batik Indonesia. Bukan batik Solo, batik Yogya, batik Pekalongan, batik Cirebon, batik Lasem, dan lain-lainnya, tetapi batik Indonesia.

Titah dijalankan dengan proses panjang, menghasilkan konstruksi identitas keindonesiaan. Batik pun representasi Indonesia, mengejawantahkan pertemuan pelbagai unsur etnis dan keragaman motif batik di Indonesia. Batik Indonesia menjadi agenda kultural berlatar politik, mengajarkan signifikansi batik untuk memartabatkan Indonesia di mata dunia.

Ingatan sejarah batik dan kontribusi para penguasa digenapi pelbagai acara tentang batik di Indonesia. Pameran batik, seminar batik, karnaval batik, peragaan busana batik sering dilaksankan, mempropagandakan batik berdalih kultural, ekonomi, sosial, politik. Batik ingin dilestarikan melalui program-program populis dan teatrikal.

Kita perlahan terlena, memandang dan menganggap batik adalah ”tontonan”, pakaian, aset kolektor, komoditas ekonomi. Pembelajaran tentang kesejarahan, filosofi, identitas kultural, terpinggirkan dari promosi-promosi batik oleh negara dan pelbagai institusi.

Pemberian penghargaan bagi SBY memang menguatkan anggapan tentang pelestarian batik meski masih meninggalkan sangsi kebermaknaan batik. Aroma politis tampak mengabaikan khazanah makna batik dari zaman ke zaman. Batik dihadirkan di panggung politik tapi belum meresap ke lakon keseharian di Indonesia.

*) Sumber: Solopos, 30 Juli 2013