Bandung Mawardi

Sutan Takdir Alisjahbana mewariskan novel-novel untuk untuk selebrasi literasi dan peradaban di Indonesia. Penerbitan novel Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Grotta Azzura (1970), serta Kalah dan Menang (1978) mengesahkan Takdir sebagai pengarang berhaluan Barat. Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) tak cuma menjadi tukang cerita. Novel-novel itu pembuktian seruan untuk menganut modernitas dan undangan untuk berindonesia. Sutan Takdir Alisjahbana-dikenal dengan sebutan STA-bercerita dan menebar ide agar pembaca bergerak ke dunia baru, mendefinisikan diri di zaman modern.

Pembaca telah akrab dengan novel STA, memberi pengakuan sebagai pengarang ampuh. Kita justru jarang menobatkan STA sebagai “pendakwah” bahasa Indonesia, penggerak peradaban modern berpijak ke bahasa Indonesia. Misi mewartakan bahasa Indonesia dijalankan STA dengan mengelola majalah Poedjangga Baroe (1933) dan Pembinaan Bahasa Indonesia (1947-1952). STA juga rajin menulis esai mengenai bahasa Indonesia, tersebar ke pelbagai koran dan majalah. Warisan buku terpenting dari STA adalah Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Sedjarah Bahasa Indonesia (1956), serta Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957).

Melalui Poedjangga Baroe, STA mengabarkan gairah membentuk Indonesia berjiwa modern. Majalah Poedjangga Baroe memiliki klaim: “madjalah kesoesastraan dan bahasa serta kebudayaan oemoem”. Klaim ini berlanjut ke peran Poedjangga Baroe sebagai “pembawa semangat baroe” dan “pembimbing semangat baroe”. Penggunaan slogan itu menghendaki ada tebaran gagasan demi menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern, bahasa persatuan, bahasa peradaban, dan bahasa “kemadjoean”. Keith Foulcher (1991) menganggap agenda Poedjangga Baroe mengesankan “nasionalisme kebudayaan”, disajikan dengan idiom-idiom baru meski beraroma Barat.

Ambisi menguatkan bahasa Indonesia untuk persatuan disajikan secara impresif oleh STA dalam esai berjudul Bahasa Indonesia, Bahasa Persatoean (1932). STA menggunakan nama samaran Semangat Moeda. Pengakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sejak 1928, membuat pemerintah kolonial geram dan dendam. Pemerintah menerapkan kebijakan ideologis di sekolah, bertujuan meminggirkan bahasa Indonesia, menghancurkan ikatan semangat persatuan. Pembelajaran bahasa Indonesia dihapuskan dalam pelajaran di HIS.

Kebijakan ini berlaku di Jawa, berlanjut ke Minangkabau. Pemerintah kolonial menginginkan agenda pendidikan menggunakan bahasa daerah, “melarang” penggunaan bahasa Indonesia. STA menulis: “njatalah bahwa pemerintah hendak meroesakkan persatoean jang telah dianjam dan disemen dengan bahasa Indonesia. Pemerintah mengingatkan kepada tiap-tiap golongan bangsa, bahwa mereka ada mempoenjai bahasa sendiri dan haroes memakai bahasanja itoe sadja.”

Situasi pada 1930-an itu memang ideologis. Gerakan nasionalisme menginginkan bahasa Indonesia menjadi basis persatuan, menggerakkan ide dan imajinasi pembentukan Indonesia. Kebijakan pemerintah kolonial justru mau mengembalikan kaum pribumike pengerasan perbedaan etnis, mencipta lakon perseteruan bahasa. Misi pemerintah kolonial dilawan oleh para guru, pengarang, jurnalis dan kaum politik. Mereka terus mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah, menulis dengan bahasa Indonesia, berpidato politik dengan bahasa Indonesia.

STA terus berperan sebagai “pendakwah” bahasa Indonesia melalui serangkaian tulisannya. Esai berjudul Bahasa Indonesia di Poedjangga Baroe edisi agustus 1933 berisi pengharapan dan ramalan atas nasib bahasa Indonesia. STA menulis: “…saja jakin sejakin-jakinnja akan tibanja masa jang moelia dan gemilang bagi bahasa dan teristimewa bagi kesoesastraan bahasa Indonesia. Sesoenggoehnya keduanya itoe satoe, tiada dapat diceraikan lagi. Apa jang bergerak dan beriak, apa jang berombak dan bergelombang didalam kalboe rakjat Indonesia terdjelma dalam kesoesastraan bahasa Indonesia pastilah gerak dan riak, ombak dan gelombang di dalam kalboe rakjat Indonesia.”

Tulisan STA tentang bahasa Indonesia jarang teringat, dibiarkan menua dalam buku-buku lawas. Kita enggan merawat tulisan bersejarah, menaruh sejarah dan pertumbuhan bahasa Indonesia di bilik-bilik suram. Gairah STA sebagai “pendakwah” bahasa Indonesia sejak masa 1930-an terlupakan, tak tercatat di buku bahasa sejarah Indonesia. Ketokohan STA tak teringat, hilang dari ejawantah kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai bahasa Indonesia di baha ke-21.

Nasib bahasa Indonesia di masa sekarang selalu gamang, mengalami keminderan saat zaman bergerak cepat. Kita tak memiliki tokoh untuk mengurusi bahasa Indonesia. Kita cuma memiliki kaum birokrat, mengurusi bahasa Indonesia berdalih “pekerjaan” dan “jabatan”. Mereka sulit mewarisi ambisi STA. Bahasa Indonesia pun semakin merana, bergerak lamban dan pucat. Bahasa Indonesia cuma tema sepel sebelum kita memejamkan mata di atas ranjang.

*) Sumber Majalah Tempo 13 Mei 2013